Link Banner

Ilusi Pendidikan Nasional

Ilusi Pendidikan Nasional | APutraDwijaya.ID



Selamat Hari Pendidikan Nasional untuk semua masyarakat Indonesia. 2 Mei adalah hari di mana pendidikan kembali diingat oleh setiap masyarakat. Mulai dari masyarakat kelas bawah sampai masyarakat kelas atas. Dari mereka yang tidak sempat mengenyam bangku sekolah sampai mereka yang gelarnya melebihi panjang jembatan Suramadu. Semua kalangan berlomba-lomba menyampaikan opininya mengenai pendidikan di negara ini, mulai dari mempostingnya di media sosial, menuliskannya di media cetak, sampai diskusi di meja mahal stasiun televisi.

Namun, dari semua opini yang telah disampaikan, terdapat kesamaan isi hati mereka, yaitu pendidikan yang tidak menjamin serta sistem yang berbelit. Menanggapi hal tersebut, saya mencoba untuk merangkum semua opini tersebut dalam sebuah tulisan. Mungkin tulisan ini tidak mewakili mereka yang puas akan sistem pendidikan di negeri ini, karena tulisan ditujukan bagi mereka yang tidak puas dengan sistem pendidikan dan kepada pemerintah agar bisa memperbaiki sistem pendidikan di negeri ini.
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa | APutraDwijaya.ID
Mungkin di lain hari saya akan membahas mengenai sistem pendidikan di negeri ini. Ya, saya salah satu orang yang tidak setuju dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Semua opini itu akan saya tulis di lain hari. Saya saat ini hanya berfokus pada ilusi-ilusi yang menghiasi pendidikan negeri ini.

Ilusi pendidikan Nasional
Sudah sering kita mendengar cerita maupun berita di berbagai media massa. Satu keluarga petani yang tinggal di sebuah desa, mereka memiliki kebun dan sawah, sehingga dapat hidup dengan cukup dari hasil kerjanya. Dengan penghasilannya ia menyekolahkan anaknya bahkan hingga ke perguruan tinggi. Tidak sedikit pula dari mereka yang menjual sebagian sawah atau kebunnya demi menyekolahkan anaknya dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih baik jika lulus nanti.

Ketika anaknya lulus kuliah, mendapatkan gelar sarjana, ia tak menjadi apa-apa. Ia tidak mendapat kerja di lembaga pemerintah maupun perusahaan-perusahaan. Ia kemudian kembali ke desa, bekerja sebagai petani atau menjadi buruh harian di desanya.

Tidak terlihat sesuatu yang membedakan dirinya dengan orang-orang yang tidak kuliah. Tidak sedikit pula dari mereka yang tidak bisa mandiri, hidup sekedar menumpang dengan orang tua atau menjadi pengangguran abadi.

Apa yang terjadi? Apa yang salah dengan pendidikan negeri ini? Kita tahu dalam 20-30 tahun terakhir, kita mengalami perubahan yang signifikan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Juga transformasi dari masyarakat desa menjadi urban. 
Sulit Cari Kerja | APutraDwijaya
Akses ke dunia pendidikan menjadi semakin mudah, dalam hal ini seharusnya terjadi perubahan pola pikir di masyarakat. Namun sering kali keadaan tidak sinkron dengan pola pikir yang ada. Di masa lalu sekolah menjadi jembatan orang-orang untuk pindah dari petani-desa-jelata menuju pegawai-kota-terhormat. Sekolah menjadi harapan bagi orang-orang yang dulunya menerima keadaan dirinya sebagai takdir, bisa menjadi orang-orang terhormat. Impian mereka adalah bisa menjadi pegawai di kota, mendapatkan gaji yang besar, kaya dan terhormat.

Proses inilah yang dipercaya oleh banyak orang. Mereka terjebak dalam ilusi, bahwa sekolah, bahkan jika sarjana adalah mesin pencetak orang-orang kaya. Siapa pun yang bersekolah nantinya akan menjadi orang yang telah saya sebutkan di atas. Dengan modal gelar sarjana dan ijazah mereka berharap bisa menaikkan status sosial mereka menjadi masyarakat menengah ke atas.

Pendidikan saat ini diyakini sebagai sarana untuk membentuk karakter yang baik dan menguasai berbagai bidang ilmu, namun kenyataannya pendidikan saat ini hanya sebatas mengumpulkan piala, jejeran medali, dan ratusan sertifikat, serta bersaing menjadi peringkat 1 di kelasnya. (Agung Putra Dwijaya)

Di masa lalu, berpuluh-puluh tahun lalu mungkin berlaku. Hampir dipastikan siapa pun yang bersekolah pasti mendapatkan pekerjaan. Namun saat ini situasi sudah berubah. Fakta menunjukkan bahwa banyak sekali pengangguran sarjana. Sampai tulisan ini dibuat, ada sekitar 500.000 sarjana yang menganggur. Bahkan beberapa di antaranya ada yang sudah menempuh program magister.

Mengapa bisa terjadi?
Para orang tua menyekolahkan anaknya berdasarkan ilusi tadi, tanpa mempertimbangkan kemampuan anak. Pokoknya sekolah, pokoknya kuliah. Kalau tidak bisa masuk jurusan favorit, cari jurusan lain. Kalau tidak bisa perguruan tinggi besar, masuk perguruan tinggi kecil. Jika tidak bisa perguruan tinggi negeri, masuk perguruan tinggi swasta saja. Tidak bisa masuk ke PTS mahal, cari yang murah saja.

Akhirnya anak hanya bisa menuruti perkataan orang tuanya. Bahkan ada juga yang percaya dan mengamininya. Mereka percaya bahwa gelar dan ijazah bisa menjamin masa depan mereka. Mereka tidak memikirkan tentang apa yang dibutuhkan di dunia kerja. Mereka sekolah hanya sekedar datang, mengisi presensi, dan pulang jika kuliah sudah selesai.

Perguruan tinggi kemudian memanfaatkan situasi ini. Pada akhirnya orang-orang membangun perguruan tinggi swasta, untuk menampung ratusan ribu peminat yang tidak tertampung di perguruan tinggi negeri. Menurut saya kehadiran perguruan tinggi swasta cukup berdampak baik karena bisa membuat cita-cita negeri ini yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa bisa tercapai. Karena pada dasarnya pendidikan itu untuk membuat seseorang berilmu. Jika sekolah hanya mencari mereka yang pintar, jadi apa tujuan pendidikan sebenarnya?
Pendidikan di Negeri Ini | APutraDwijaya.ID
Sekolah-sekolah lebih sering dan senang, mengumumkan hasil-hasil kejuaraan dan kompetisi, hasil-hasil penilaian ini dan itu serta hasil peringkat ini dan itu. Karena kerja keras dan kesuksesan sekolah diukur dengan cara itu, maka proses yang terjadi, anggaran yang disiapkan, perangkat yang dibuat, mengarah untuk mencapai hal-hal di atas.

Jika tujuan pendidikan adalah untuk membuat seseorang berilmu, mengapa sekolah hanya menerima mereka yang pintar saja. Apa tujuan pendidikan sebenarnya? (Agung Putra Dwijaya)

Akhirnya kita melihat banyak perguruan tinggi berdiri di pelosok negeri. Tak mau kalah dengan swasta, perguruan tinggi negeri juga akhirnya membuka program lain untuk menampun mereka yang tidak lolos di program reguler. Orang-orang akhirnya gila akan gelar. Sekolah vokasi yang tidak memberikan gelar sarjana mulai ditinggalkan. Peminatnya kemudian beralih ke jalur akademik agar punya gelar. Tanpa gelar dianggap sebagai kegagalan. Orang merasa tidak berarti jika tidak punya gelar dibanding tidak punya keahlian. 

Bagaimana mengatasinya?
Situasi seperti ini harus diubah. Orang-orang harus disadarkan dari ilusi yang selama ini mereka percayai. Sekolah atau perguruan tinggi bukan pencetak orang-orang terhormat. Harus disadarkan bahwa tidak semua orang harus kuliah, tidak juga semua orang harus menjadi sarjana.

Menyekolahkan anak haruslah didasari oleh pemikiran mengenai potensi anak, dan perencanaan akan masa depan anak tersebut. Mereka juga harus disadarkan bahwa masa-masa orang terhormat karena gelar tinggi sudah selesai. Seseorang bisa terhormat dengan menjadi petani yang makmur, menjadi pedagang yang sukses, atau pengusaha rumahan. Tidak harus menjadi pejabat, dokter, pegawai, maupun manager.

Anak-anak disekolahkan berdasarkan potensi yang mereka miliki serta aset yang ada dalam keluarga. Misalnya seorang anak petani bisa mengembangkan pertanian secara lebih modern berdasarkan pengetahuan dan potensi yang dimilikinya, tidak serta merta harus menjadi pejabat untuk bisa memajukan pertanian daerahnya.
Pendidikan Yang Salah | APutraDwijaya.ID
Hal terpenting yaitu sekolah adalah tempat untuk belajar. Belajar dengan suatu tujuan atau target. Kemauan anak disesuaikan dengan jurusan yang akan diambil saat masuk perguruan tinggi kelak. Kemudian baru saat kuliah dia bisa belajar mengenai apa saja hal-hal yang ia butuh kan.

Tidak memiliki gelar sarjana bukanlah hal yang memalukan, yang memalukan adalah saat kita memiliki gelar sarjana, namun tidak terdidik dan beretika. (Agung Putra Dwijaya)

Sebagai mahasiswa psikologi, saya akan menyampaikan pandangan saya dalam konteks psikologi. Ilusi ini hadir karena adanya anggapan bahwa mereka yang punya gelar tinggi pasti punya masa depan. Anggapan klasik ini masih terus dipercaya hingga kini oleh para orang tua. Seperti yang sudah saya bahas, orang tua hanya mengarahkan anaknya untuk sekolah dan mendapat gelar agar kelak bisa mendapat kerja yang baik. Namun jarang ada orang tua yang menyekolahkan anaknya dengan tujuan supaya menjadi seseorang yang berintelektual dengan tetap berkarakter baik dan santun. Ada, namun hanya di mulut, di hatinya tetap saja agar sang anak bisa mendapat kerja yang baik dan bisa mencukupi kesehariannya. Tujuannya ya itu tadi, agar sang anak bisa hidup.

Orang tua haruslah memberikan pemahaman yang benar kepada anaknya bahwa sekolah hanyalah satu jembatan dari jembatan-jembatan lain. Bukan malah mendikte sang anak bahwa sekolah adalah satu-satunya jembatan. Hal ini akan berdampak pada pikiran sang anak sampai tua. Orang tua sangat berperan besar dalam mempengaruhi keputusan anak yang akan mempengaruhi masa depannya, sehingga harus bisa menjadi teman sekaligus guru kehidupan.

Catatan Penulis:
Pendidikan di Indonesia hanya berfokus pada persaingan untuk menjadi yang terbaik. Hal ini membuat seorang pelajar melakukan kecurangan. Tidak peduli dengan cara apa mendapatkannya. Karena adanya anggapan bahwa nilai dan gelar lebih dihargai di negeri ini daripada proses dan keahlian. Di satu sisi, para Guru dengan bangganya, menyatakan keberhasilan, ketika para muridnya berhasil mendapatkan nilai bagus-bagus di kelasnya, seolah berhasil pula pendidikan yang dituangkan di kelasnya, padahal itu hanya bentuk keberhasilan anak menghafal sejumlah materi pelajaran.

Di lain pihak, para orang tua dengan bangga menceritakan kepada koleganya, anak saya juara ini-itu, anak saya terpilih dan berhasil di bidang ini-itu, padahal, orang tua yang bersangkutan tahu persis betapa iya harus selalu bangun pagi dan datang ke kamar anaknya sekedar membangunkan anaknya di pagi hari, di saat menemaninya belajar pada detik-detik masa-masa ulangan dan ujian. Tak jarang para orang tua lebih percaya diri menciptakan kecerdasan anaknya pada lembaga atau guru bimbel.

Dan kemudian, di tengah-tengah masyarakat kita, hasil pendidikan secara kasat mata adalah : Berteriak lebih disukai, memaksakan kehendak dapat lebih cepat memberi manfaat, berbeda pandangan jadi sumber masalah, serba instan jadi sumber kehidupan, kaya harta jadi kebanggaan, miskin harta jadi kenistaan, nilai rendah memalukan, akhlak baik tidak masuk penilaian, keimanan diabaikan, dan kejujuran dikesampingkan. Sekali lagi, pendidikan telah kehilangan arah, semakin hari semakin jauh dari tujuan awalnya.

Dan inilah yang menjadi pembeda antara negara maju dengan negara berkembang seperti Indonesia. Di negara maju, warga negaranya didorong agar menjadi dirinya sendiri. Untuk menjadi otentik. Hidup sesuai dengan cita-cita dan impiannya. Segila apa pun impiannya. Semustahil apa pun cita-citanya. Sedangkan di negara berkembang, seperti Indonesia, manusianya didorong agar melakukan hal yang umum dilakukan oleh masyarakatnya. Karena jika berbeda sedikit saja, lalu akan diberi stigma. Ketika cita-citanya di luar tradisi keluarga, maka akan dianggap mustahil untuk dilakukannya. Saat impiannya di luar rasio dan logika lingkungannya, maka akan dianggap gila.

Mereka yang mampu bertahan menghadapi zaman bukanlah mereka yang memiliki gelar tinggi, tetapi mereka yang berdedikasi tinggi. (Agung Putra Dwijaya)

Download PDF dan Sumber Disini

*Tulisan ini tidak murni tulisan saya sendiri, terinspirasi dari berbagai sumber yang saya baca dan sudah berusaha menghubungi langsung ke penulis asli.
*Penggunaan Nama (Agung Putra Dwijaya) tidak berarti bahwa caption tersebut adalah hasil karya saya, tetapi hanya penggambaran Title Blog.
*Sumber literasi dicantumkan dalam bentuk file PDF yang dapat didownload

No comments:

Post a Comment

Link Banner