![]() |
Pendidikan Yang Salah | APutraDwijaya.ID |
Pendidikan adalah dasar
pembentuk pola pikir. Dengan pendidikan yang baik, maka akan menghasilkan
manusia dengan pola pikir yang baik. Pertanyaannya, apakah pendidikan di Indonesia
saat ini sudah baik?. Tidak!, untuk kawasan Asia Pasifik saja, Indonesia menempati
urutan ke-10 dan 14 negara. Sungguh prestasi yang sangat-sangat tidak bisa
dibanggakan.
Saya memang bukan profesor
atau guru besar yang mengerti dengan benar apa yang tepat untuk dunia
pendidikan saat ini. Tetapi, saya mengerti dengan pasti apa yang salah dengan
sistem pendidikan di Indonesia saat ini, dan saya ingin memberikan opini saya
tentang sistem tersebut. Setiap kritik haruslah dibarengi dengan solusi, dan
solusi tersebut akan saya posting
dalam beberapa waktu ke depan.
![]() |
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa | APutraDwijaya.ID |
“Ma!” teriakku di depan pintu siang itu. Ibuku yang saat itu memasak
makanan di dapur langsung menyahut, “ada
apa nak?”. Aku terduduk di depan pintu sambil memandang pohon yang ada di
depan rumah, ibuku langsung menghampiriku dan duduk di sebelahku. “kenapa anak mama, kok sedih?”. Aku tak
menjawab pertanyaan ibuku. Perasaan bosan bercampur aduk dengan rasa marah.
Naluri seorang ibu tetap yang terbaik, ia tahu diriku sedang marah. Ibuku
berdiri, kemudian kembali ke dapur meninggalkanku. Tak lama kemudian, ia datang
dengan membawa makanan kesukaanku. Hatiku seketika senang dan seakan melupakan
hal-hal yang terjadi di sekolahku pagi tadi.
Ibuku orang yang sangat
tahu mengenai diriku sepenuhnya. Ia bisa menenangkanku saat diriku sedang
sedih. Di saat aku menyantap makanan itu, ia kembali bertanya, “bagaimana sekolahnya?”. Sambil terus
mengunyah makanan, aku menjawab, “agung
ga mau sekolah lagi, bosan”. Mendengar jawabanku, ibuku langsung terdiam.
Tak berapa lama ia kembali berkata, “loh
kenapa?, waktu itu minta sekolah, kok sekarang ga mau sekolah, nanti ga bisa
jadi dokter”. Tak pikir panjang, aku langsung berkata, “ga mau, bu gurunya nyuruh-nyuruh terus, masa agung ga mau gambar
rumah, disuruh gambar rumah”. Ibuku yang berprofesi sebagai seorang guru
tentu mengetahui maksudku saat itu. Ia tidak menanyakan mengapa aku tidak ingin
menggambar rumah, ia malah berkata, “yasudah,
besok ikut mama ke SD aja, ga usah masuk sekolah lagi”. Mendengar jawaban
itu, aku langsung berdiri dan menari-nari, suatu bentuk ekspresi kesenangan
yang sampai saat ini tidak akan ku lupakan.
Cerita pendek di atas
merupakan kisah yang ku alami 14 tahun silam. Satu-satunya momen yang tak
pernah saya sesali sampai saat ini. 2 Bulan menempuh pendidikan di Taman Kanak-kanak
terasa sangat membosankan. Bukan karena teman-teman yang jahat, bukan karena
guru yang killer, ataupun tugas yang
banyak, tetapi karena pemaksaan kehendak yang saya terima. Seperti yang sudah saya
ceritakan di atas, saya saat itu ingin sekali menggambar sebuah mobil, namun
guru saya “memaksa” saya dan anak-anak lain menggambar rumah. Mengapa saya dan
anak-anak lain saat itu harus menggambar rumah?. Apakah minat seseorang harus
sama?. Hal lain yang membuat saya bingung adalah penilaian terhadap gambar yang
sudah dibuat. Masing-masing anak menggambar rumah, sesuai intruksi dari guru
yang bersangkutan. Terlihat berbagai angka terpampang di kanan atas buku
gambar. Ada anak yang mendapat nilai 9, ada anak yang mendapat nilai 8 dan 7.
Tetapi ada juga anak yang mendapat nilai 5 hanya karena dirinya membuat 2 pintu
dalam gambar rumahnya. Apa yang salah dengan rumah yang memiliki 2 pintu di
bagian depan?. Apakah karena guru yang menilai hanya memiliki 1 di bagian depan
rumahnya?. Jika saja guru tersebut mempunyai rumah dengan 2 pintu di bagian
depan, mungkin saja anak tersebut mendapatkan nilai 9, dan anak yang tadinya
mendapat nilai 9, harus merasakan mendapat nilai 5 di buku gambarnya.
![]() |
Contoh Gambar Yang Dipaksakan | APutraDwijaya.ID |
Tidak hanya saya saja, mungkin
saja Anda atau anak-anak lain mengalami hal yang sama, tetapi dengan kasus yang
berbeda. Mungkin ada anak yang pernah mewarnai daun dengan warna merah,
pegunungan dengan warna biru, dan matahari dengan warna cokelat. Para Guru
biasanya, karena tidak semuanya akan mengatakan bahwa warna-warna tersebut
salah. Mereka akan mengatakan bahwa daun berwarna hijau, pegunungan berwarna
hijau/cokelat, dan matahari berwarna kuning.
Hal ini menjadi bukti
bahwa sejak usia dini (TK) anak-anak sudah diajarkan untuk menyamakan persepsi
dengan gurunya, bukan diajarkan untuk berimajinasi. Padahal mewarnai adalah
seni, dan bukan sebuah ilmu pasti. Apa
yang membuat guru yakin bahwa daun selalu berwarna hijau, pegunungan selalu
berwarna hijau/cokelat, rumah selalu memiliki 1 pintu di bagian depan, dan
matahari benar-benar berwarna kuning?.
Penerapan pendidikan di Indonesia aneh!. Namanya juga kurikulum nasional, bukan kurikulum personal, jadi ya setiap anak yang memiliki minat dan cita-cita yang berbeda harus belajar materi yang sama. Tidak peduli apakah itu minatnya atau bukan. Tidak juga dipikirkan apakah pelajaran yang diberikan adalah tujuannya mengenyam pendidikan. Pokoknya, itu harus ditempuh seluruh pelajar di Indonesia. Hingga pada akhirnya bukan proses yang dihargai di negeri ini, tetapi hasil. Hasilnya generasi saat ini bukannya mempelajari masalah, kemudian berdiskusi mencari solusinya, tetapi hanya mempelajari contoh soal dan mencari tahu apa jawaban dari soal yang diberikan.
(Agung Putra Dwijaya)
Apa yang akan dilakukan
oleh guru jika ada anak didiknya menggambar rumah berbentuk jamur atau
kura-kura?. Atau apa yang akan dilakukan jika anak didiknya menjawab jumlah
planet di Tata Surya berjumlah 20? Juga ketika anak-anak didiknya berdebat dengan
dirinya mengenai olahraga yang dapat dilakukan saat tidur malam. Biasanya,
karena hampir semuanya akan memberikan nilai buruk pada rumah yang berbentuk jamur, mencoret
jawaban tentang jumlah planet di tata surya, serta memberikan hukuman pada
siswa yang berdebat dengannya, dan mengatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin.
Kasus di atas
menegaskan bahwa sejak dini anak-anak juga diajarkan tentang keseragaman, bukan
menghargai perbedaan dan menciptakan.
Padahal menggambar sendiri adalah proses menuangkan khayalan, bukan tentang
salah ataupun benar. Apakah guru SD tahu dengan pasti jumlah planet di Tata
Surya?. Apakah tidak mungkin jika suatu hari nanti ada alat olahraga yang dapat
digunakan saat tidur?.
![]() |
Everyone is a Genius - Albert Einstein | APutraDwijaya.ID |
Seandainya dahulu saat
perang kemerdekaan yang dipimpin oleh Pangeran Antasari, ada orang yang
menggagas ide komunikasi yang lebih baik dibandingkan pos merpati, mungkin
orang tersebut akan ditertawakan karena dianggap gila. Tapi sekarang, siapa
yang akan menertawakan jika ada orang yang berkomunikasi menggunakan pos
merpati?, di tengah zaman yang seba digital saat ini, penggunaan media sosial
dan aplikasi chatting seperti Facebook,
Twitter, Line, Whatsapp, dan BBM. Bisa kalian bayangkan bagaimana politik adu
domba yang dijalankan oleh penjajah tidak akan berguna , seandainya pangeran
Diponegoro setiap saat bisa mengetweet
ke followersnya?
Kamu pasti tahu Facebook,
Google, Microsoft serta sejarah saat pertama kali diciptakan. Kamu juga pasti
mengenal Mark Zuckerberg, Bill Gates, dan Larry Page sebagai penggagasnya. Kita
setuju bahwa mereka adalah orang yang sangat kreatif dan visioner. Tetapi
pernahkah ide-ide tersebut bersarang di kepala anak-anak negeri? Pasti Ada!,
bahkan mungkin jauh sebelum Mark dkk, terpikirkan untuk mencetuskannya.
Tapi melihat sistem
pendidikan di Indonesia, sudah pasti ide-ide tersebut dianggap gila dan tidak
mungkin dilakukan. Ditelan!, dimatikan!, dibully!,
tidak sesuai persepsi banyak orang, tidak umum dipikirkan banyak orang, aneh!,
sinting!, kebanyakan makan mecin!. Itulah perkataan-perkataan yang pasti
keluar.
![]() |
Dengan dukungan banyak orang, kami menghubungkan dunia - Mark Zuckerberg | APutraDwijaya.ID |
Penggagas ide tersebut
kemudian akan mendapat stigma di masyarakat. Hingga akhirnya orang tua anak
tersebut malu dan meminta untuk tidak lagi mencetuskan idenya tersebut, lalu
berkata, “Sudahlah anak, kamu anak pinter,
jadi PNS saja kaya bapakmu, ga mikir duit lagi, libur banyak, masa tua terjamin”.
Akhirnya, matilah sebuah imajinasi yang sebenarnya bukan hanya sekedar mimpi.
Inilah yang membedakan negara maju dengan negara berkembang. Di negara maju, warganya didorong untuk menjadi dirinya sendiri. Mereka dididik untuk menjadi otentik. Hidup sesuai cita-cita dan impiannya, semustahil apa pun impiannya, segila apa pun cita-citanya. Berbeda dengan negara berkembang, contohnya Indonesia. Warganya didorong untuk melakukan hal-hal yang umum dilakukan oleh masyarakatnya. Jika berbeda sedikit saja akan di bully, dikritik, dijauhi, dan diberi stigma yang beraneka ragam. Saat cita-citanya tidak sesuai dengan yang diharapkan keluarga, maka akan dimarahi dan dikatakan mustahil untuk dicapai. Ketika impiannya di luar nalar dan logika, maka akan dianggap gila, dan akhirnya menghilang tanpa jejak.
Pada akhirnya anak-anak
Indonesia menjadi insan yang tidak kreatif. Padahal kreativitas adalah kunci
utama untuk berkarya. Berkarya butuh pola pikir yang terbuka, bukan yang terkekang
dan mengikuti arus. Masyarakat kita sangat bersemangat mengutuk seseorang yang
dianggap menyalahi gaya mereka. Mental mengkritik demi kemajuan dianggap
merusak dan harus ditekan.
Hal inilah yang akhirnya
membuat tidak adanya “spesialis” di Indonesia. Karena sejak usia dini, mereka
sudah diajarkan untuk menyamakan persepsi dengan gurunya, diajarkan untuk
seragam, diajarkan untuk ikut arus, serta diajarkan materi yang sama. Padahal
sejak kecil, anak-anak sudah punya minat dan cita-citanya sendiri. Apa gunanya belajar
dan mempelajari hal yang sama sejak TK sampai SMA, jika akhirnya juga harus
mempelajari dari awal seperti saat mengenyam bangku sekolah demi mencapai
cita-citanya, saat di bangku perkuliahan. Waktu 12 tahun sampai SMA seakan
tidak berguna, karena sistem pendidikan yang ada.
![]() |
Sistem Pendidikan Yang Hebat - William S. Budiman | APutraDwijaya.ID |
Setiap tahun selalu ada
gagasan untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik.
Bahkan sampai saat ini, sudah 11 kali diadakan perubahan kurikulum. Tapi
perubahan apa yang terjadi?, tidak ada!. Buktinya sampai sekarang pendidikan di
Indonesia masih terpuruk, dan bahkan tergolong dalam top ten the worst education system in the world. Pendidikan saat ini
belum mampu mengubah pola pikir peserta didik ke arah yang lebih baik. Banyak dari
pelajar SD yang sudah menjadi agen bullying, melakukan pelecehan seksual,
bahkan menggunakan narkoba. Saat jenjang SMP mulai melakukan tawuran, seks
bebas, bahkan tidak jarang melakukan tindakan kriminal berat seperti, geng
jalanan, dan klitih. Padahal, mereka terpelajar, dan tidak jarang dari mereka
yang berprestasi dan mendapat nilai akademis yang baik.
Kasus-kasus di atas
semakin menguatkan bahwa pendidikan di Indonesia perlu berubah. Indonesia perlu
sistem pendidikan yang tidak lagi memaksakan kehendak para warganya, sistem
pendidikan yang tidak lagi berorientasi pada nilai semata, tetapi menjadi
sistem pendidikan yang membebaskan warganya untuk mengembangkan minat dan
bakatnya sesuai dengan bidang yang disukainya. Menjadi sistem pendidikan yang
tidak lagi berorientasi pada nilai, tetapi menghargai proses dalam mencapainya.
Indonesia butuh itu semua, butuh anak bangsa yang tidak hanya cerdas, tetapi
juga kreatif, inovatif, bermoral, dan beretika.
Sistem pendidikan saat ini tidak akan menghasilkan generasi yang visioner dan berintegritas tinggi. Upaya pencerdasan bangsa harus segera dilakukan untuk membebaskan generasi dari hal-hal yang salah.
(Agung Putra Dwijaya)
Jika kita ingin
mengubah status Indonesia menjadi negara maju, kita sebagai generasi bangsa
harus berani mengambil risiko untuk menjadi insan yang berbeda. Bukan pengakuan
dunia menjadi top ten best education
system in the world semata yang diharapkan, tapi bagaimana prestasi bangsa
ini mampu mengubah Indonesia menjadi lebih baik ke depannya. Sehingga tidak
lagi ada anak-anak lain yang menggambar rumah dengan dua pintu di bagian depan
mendapatkan nilai 5.
![]() |
Jadikan anak-anak sebagai generasi pembelajar - Anies Baswedan | APutraDwijaya.ID |
Saksikan salah satu opini dari Youtuber asal Amerika Serikat, Prince EA mengenai sistem pendidikan
Link Download Disini
No comments:
Post a Comment